HUKUM dan ETIK KEDOKTERAN

HUKUM DAN ETIK KEDOKTERAN

A. Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan

Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.Jika seorang dokter tidak mengetahui tentang batas tindakan yang diperbolehkan oleh hukum dan menjalankan tugas perawatannya, sudah barang tentu dia akan ragu-ragu dalam melakukan tugas tersebut, terutama untuk memberikan diagnosis dan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. Keraguan bertindak seperti itu tidak akan menghasilkan suatu penyelesaian yang baik, atau setidak-tidaknya tidak akan memperoleh penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau pelayanan kesehatan. Bahkan bisa saja terjadi suatu tindakan yang dapat merugikan pasien. Demikian juga bagi aparat penegak hukum yang menerima pengaduan, sudah selayaknya mereka terlebih dahulu harus mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum kesehatan, agar dapat menentukan apakah perbuatannya itu melanggar etika atau melanggar hukum.
Disadari sepenuhnya bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien tidak selamanya berhasil dengan baik. Adakalanya usaha tersebut mengalami kegagalan. Faktor penyebab kegagalan ini banyak macamnya, mungkin karena kurangnya pehaman dokter yang bersangkutan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, atau karena minimnya peralatan yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi. Namun tidak jarang terjadinya kegagalan itu bersumber dari faktor manusianya sendiri, yakni karena adanya kesalahan daro dokter dalam mengadakan diagnosis dan terapi. Hal yang terakhir ini membuat masyarakat awam beranggapan bahwa dokter telah gagal atau dianggap gagal dalam melaksanakan tugas perawatannya.

Memang dalam kenyataannya, seorang dokter dapat saja salah atau khilaf atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi karena profesi dokter merupakan jabatan yang khusus, maka terdapat pula persyaratan yang khusus untuk mempermasalahkan tindakan dokter. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau dari segi hukum. Tentang mengapa harus dilakukan peninjauan dari sudut hukum, alasannya karena semenjak zaman dahulu hukum telah membebani seorang dokter dengan syarat-syarat yang cukup berat dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian terlihat betapa eratnya kaitan hukum dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan.
Pada dasawarsa terakhir ini, sering timbul reaksi defensif dari masyarakat terhadap perkembangan pelayanan kesehatan, reaksi itu dengan cepat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan, persoalan ini menyebabkan aspek hukum antara dokter dengan pasien menjadi semakin penting. Perkembangan ini di satu pihak mengandung makna yang sangat positif karena memperlihatkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum pada umumnya, dilain pihak perkembangan tersebut merupakan tantangan bagi profesi dokter dalam upayanya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang terikat dalam hubungan transaksi terapeutik.
Hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dengan kaidah-kaidah moral, yakni melalui etika profesi atau kode etik, kini dengan perkembangan yang terjadi, mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara normatif. Kepatuhan terhadap aturan ini tidak lagi sepenuhnya digantungkan pada kesadaran dan kemauan bebas dari kedua belah pihak, oleh karena itu pengaturan tersebut harus dituangkan melalui kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa
Pada hakikatnya, sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk mempertahankan hak dengan perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk melindungi kepentingan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan kata lain aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau keluarganya merasa kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.
Mengingat hakikat hubungan antara dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik sebagaimana diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada umumnya termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang harus diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas keahliannya untuk menyembuhkan pasien. Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh dokter itu didasarkan pada keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan yang dilakukan oleh dokter itu merupakan tindakan yang sah. Wanprestasi atau ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang ditentukan.
Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya mengatur hubungan antara pasien dengan dokter. Dalam kaitannya dengan hal ini Van der Mijn (1989 : 57) mengemukakan adanya sembilan alasan tentang perlunya pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
1. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3. Hasil guna.
4. Pengendalian biaya.
5. Ketertiban masyarakat.
6. Perlindungan hukum pasien.
7. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum.
Dalam praktik, sehubungan dengan tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul masalah karena sulitnya menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis dalam hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan medis.
Kesulitan disini timbul karena etika merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung jawab.
Dalam etika dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa ia melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat dipengaruhi oleh pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.
Etika terikat dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Hal ini jelas terlihat sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional, untuk selanjutnya hal hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa dalam banyak hal telah terjadi perubahan orientasi mengenai pemikiran dan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Itu sebabnya garis pemisah antara etika dan hukum tidak jelas, karena dari waktu ke waktu selalu bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi ditengah masyarakat, seperti yang dikatakan Koeswadji (1992 : 124): ”Norma etika umum masyarakat dengan norma etika kesehatan-kedokteran saling mempengaruhi,, atau dengan lain perkataan, nilai dan pandangan hidup yang dicerminkan oleh etika profesi kesehatan-kedokteran dalam suatu masyarakat tertentu berlaku untuk suatu waktu tertentu”.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Hal ini terlihat pada salahsatu ciri dari profesi dokter yakni nilai kemanusiaan. Naluri seorang dokter akan terpanggil tidak hanya terbatas pada upayanya bagaimana ia dapat memberi pelayanan langsung terhadap penderita dalam membantu memecahkan masalah kesehatan, tetapi juga seorang dokter berupaya mengembangkan nilai-nilai profesionalismenya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan.

B. Hubungan Pasien dengan Dokter
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab: antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.
Di indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/1989. Walaupun dalam kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna mendapatkan persetujuan itu tidak sederhana yang dibayangkan, namun setidak-tidaknya persoalannya telah diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara hukum.
Pokok persoalan yang menyebabkan sulitnya menerapkan informed consent di indonesia, adalah karena terlalu banyak kendala yang timbul dalam praktik sehari-hari, antara lain: bahasa yang digunakan dalam penyampaian informasi sulit di pahami oleh masyarakat khususnya pasien atau keluarganya, batas mengenai banyaknya informasi yang dapat di berikan tidak jelas, masalah campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal pemberian persetujuan tindakan medis sangat dominan, dan sebagainya. Di samping itu juga tentang informasi dan consent sering terdapat perbedaan kepentingan antara pasien dengan dokter. Perbedaan kepentingan ini jika tidak memenuhi titik temu yang memuaskan kedua belah pihak, akan menyebabkan timbulnya konflik kepentingan. Misalnya pasien berkepentingan untuk penyembuhan penyakit yang di deritanya, akan tetapi mengingat risiko yang akan timbul berdasarkan informasi yang di perolehnya dari dokter, pasien atau keluarganya menolak memberi persetujuan, sedangkan pada sisi lain dokter yang akan melakukan perawatan membutuhkan persetujuan tersebut.
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat sulit bagi dokter yang menangani utnuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum yang timbul bukan karena adanya ”Persetujuan Tindakan Medik” terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau keadaan darurat. Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter, hal ini berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau menyembuhkan penyakit pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa. Masalahnya sekarang adalah: Bagaimana jika pasien menolak usul perawatan atau usaha penyembuhan yang ditawarkan oleh dokter?
Tegasnya dalam hubungan antara pasien dengan dokter diperlukan adanya persetujuan, karena dengan adanya persetujuan ini berakibat telah tercapainya ikatan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat dalam arti mempunyai kekuatan sebagai hukum yang dipatuhi oleh kedua pihak.
Dalam praktiknya, baik hubungan antara pasien dengan dokter yang diikat dengan transaksi terapeutik, maiupun yang didasarkan pada zaakwaarneming, sering menimbulkan terjadinya kesalahan atau kelalaian, dalam hal ini jalur penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Majelis Kode Etik Kedokteran. Jika melalui jalur ini tidak terdapat penyelesaian, permasalahan tersebut diselesaikan melalui jalur hukum dengan melanjutkan perkaranya ke pengadilan.
Pada sisi lain, walaupun secara yuridisdiperlukan adanya persetujuan tindakan medis untuk melakukan perawatan, namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa suatu perawatan walaupun tanpa persetujuan tindakan medik, apabila tidak menimbulkan kerugian bagi pasien, hal tersebut akan didiamkan saja oleh pasien. Namun jika kesalahan atau kelalaian dilakukan oleh dokter dan akibat dari kesalahan tersebut menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pasien, maka persoalan tersebut akan diselesaikan oleh pasien atau keluarganya melalui jalur hukum. Dalam praktik seperti ini terlihat betapa sulitnya posisi dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan, baik pada tahap diagnosa maupun pada tahap perawatan, sehingga dari mereka diperlukan adanya sikap ketelitian dan kehati-hatian yang sunguh-sungguh.

C. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
Pada bagian ini akan dibahas tentang hak dan kewajiban para pihak secara umum, pembahasan tentang hal ini dirasakan sangat penting karena kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien semakin pudar. Selain itu dalam praktik zaherí-hari banyak falta menunjukkan, bahwa swcara umum ada anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang dilakukannya,. Sebenarnya jika dilihat dari sudut perjanjian terapeutik pendapat seperti ini, merupakan pendapat yang keliru karena dengan adanya perjanjian terapeutik tersebut kedudukan antara dokter dengan pasien adalah sama dan sederajat.
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selali tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi, secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mrngambil keputusan yang diperlukan.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai kesehatan ini dinegara kita diatur dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana dalam Bab III Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 4 menyebutkan: Pasal 1 (1): “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.” Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh setiap orang, negara memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 6 sampai Pasal 9 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan tanggung jawab pemerintah.

Hak atas pelayanan kesehatan memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh, hal ini diakui secara internasional sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. beberapa pasal yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan hak atas diri sendiri antara lain dimuat dalam Article 3 yang berbunyi: Everyone has the right to life, liberty and the security of person. Selanjutnya dalam Article 5 disebutkan: No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment…. Ketentuan lainnya dimuat dalam Article 7 dan 10. ketentuan Article 7 menyebutkan: No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman degrading treatment… In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation. Dan ketentuan Article 10 mengatur tentang: All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, apa yang terjadi dan berkembang di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, menunjukkan suatu hal yang sangat menggembirakan. Di Negara tersebut hak-hak pasien berkembang dengan baik. Perkembangan ini terutama karena adanya tekanan pada rumah sakit yang dilakukan oleh Patien’s Bill of Right, sehungga hak-hak pasien diakui oleh pengadilan. Hak tersebut antara lain, hak untuk menolak cara perawatan tertentu; sebagaimana dikatakan oleh Werthmann (1984:184): “it is a principle of the common law that every being edult years and sound mind has to determina what shall be done with his own body. In the confext of medicalcare, this means it is the patient, not the physician, who has the final legal right to makertreatment decisions. Thus, the physician may act only within the fair limits of the patien’s consent. A vilation of the patien’s right of self-determination may give rise to a common law action against the physician for battery or lack of informed consent.”
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
1. Hak pasien atas perawatan
2. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien.
4. Hak atas informasi.
5. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan.
8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
9. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights
10. Hak pasien menggugat atau menuntut.
11. Hak pasien mengenai bantuan hokum.
12. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.
Khusus mengenai hak informasi dalam pelayanan kesehatan sebagaimana dikatakan oleh Bailey (1972:278) bahwa: In a true life threatening emergency there is no problem with the obtaining of an informed consent. In the absence of a valid consent from a sane and sober adult patient, or from the parent or committee of a minor of incompetent person, consent is implied and the physician has a positive duty to proceed with any reasonable effort to savage life or limb.
Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Kewajiban memberikan informasi.
2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan.
3. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan.
4. Kewajiban memberikan imbalan jasa.
5. Kewajiban memberikan ganti-rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan.

Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau keluarganya.
Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 34 Tahun 1983, didalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:
1) Kewajiban umum;
2) Kewajiban terhadap penderita;
3) Kewajiban terhadap teman sejawatnya;
4) Kewajiban terhadap diri sendiri.

Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan manghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Karenanya bukan merupakan inspanningssverbintenis. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan (met zorg eh inspanning) menjalankan tugasnya. Perbedaan antara resultaatverbintenis dengan inspanningserbintenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya (karena dokter dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).
3. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dikter ini dalam hal perjanjian perawatan (behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.
Di samping itu ada beberapa perbuatan atau tindakan yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan etik kedokteran. Perbuatan atau tindakan yang dilarang tersebut adalah sebagai berikut.
1. Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
2. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi.
3. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan sepengetahuan pasien atau keluarganya.
Dengan demikian jika diperhatikan isi kode etik kedokteran tersebut dapat disimpulkan bahwa: kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar dokter menjalankan profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Apalagi sebagian besar dari masyarakat, terutama yang tinggal dipedesaan belum memiliki pengertian yang cukup tentang cara memelihara kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan bimbingan dan penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan, merupakan salah satu tugas dokter yang tidak kalah pentingnya dari pekerjaan penyembuhan. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, jabatan profesi dokter, lebih-lebih di pedesaan, sebetulnya meliputi semua bidang kegiatan masyarakat, artinya dokter harus ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Atas dasar hal tersebut, jika motivasi seorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan, dokter tersebut dapat di golongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter yang bersangkutan akan tergelincir untuk melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk menghayati dan mangamalkan kode etik dan sumpahnya. Di samping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi, serta meningkatkan keterampilannya sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi.

STANDAR PROFESI MEDIS DAN AUDIT MEDIS

A. Standar Profesi Medis
Dalam hukum kesehatan diakui adanya otonomi profesi yang hanya berlaku bagi suatu anggota profesi dokter, adanya ketentuan yang bersifat otonom ini, karena profesi kedokteran memiliki komunitas tersendiri, sehingga menampilkan suatu sistem nilai yang memiliki sejumlah kaidah yang turut menggerakkan dan mengendalikan profesi kedokteran. Di samping itu juga dikenal adanya kontrol profesional yang berfungsi untuk mempertahankan dan menjunjung tinggi martabat profesi kedokteran.
Jadi, dari sekian banyak lingkungan masyarakat yang mengemban profesi seperti guru, jurnalis, advokat, hakim, jaksa, dan sebagainya. Profesi kedokteran merupakan profesi khusus yang berbeda dengan profesi lainnya. Kekhususan profesi kedokteran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan rata-rata dari pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian dan pengabdian yang tinggi.
Berbicara mengenai profesi, secara umum dikenal adanya beberapa ciri atau identitas tentang profesi yang membedakannya dengan kelompok masyarakat umum, adapun ciri-ciri profesi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kelompok disiplin ilmu yang khusus dan terorganisir.
2. Kegiatan profesi atau pelaksanaan fungsi profesi memerlukan profesi berpikir yang pada umumnya bersifat intelektual dan menunjukkan suatu proses penilaian.
3. Memerlukan pendidikan profesional untuk menjalankan profesi
4. Melayani kebutuhan masyarakat dan bukan kepentingan kelompok.
5. mengembangkan secara terus-menerus ilmu yang di bina dan dapat di uji kesahihannya serta digunakan dalam praktik untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.
6. Memiliki identitas dan keyakinan kelompok yang di kenal oleh masyarakat.
7. Memiliki dan memberlakukan kode etik di lingkungan profesinya.
8. Menarik orang-orang dengan kecerdasan tinggi dan kepribadian baik, untuk memilih profesi ini sebagai pekerjaan dan atau pengabdian seumur hidup, bukan sekedar sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan lain.

Sebenarnya etika profesi merupakan bagian dari etika masyarakat, dimana antara etika profesi dan etika masyarakat tidak boleh bertentangan. Jika terjadi pertentangan antara etika profesi dan etika masyarakat, maka etika masyarakatlah yang harus di utamakan. Dalam banyak hal antara etika profesi dengan etika masyarakat saling isi mengisi. Etika profesi dapat berubah dan di tentukan kembali oleh etika masyarakat yang berlaku pada suatu waktu tertentu, demikian pula sebaliknya perkembangan etika masyarakat mendapat pengaruh dari etika profesi.
Dasar atau landasan yang menjadi cikal bakal terbentuknya etika profesi di kalangan para pengemban profesi, adalah karena dalam kehidupan bermasyarakat terdapat hal-hal yang oleh hukum tidak perlu di atur dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan dan pemikiran ini bertolak pada adagium yang ditemukan dalam ilmu hukum, dimana secara tersirat di gariskan bahwa hukum tidak mengatur hal-hal yang kecil (deminimis non curat lex). Jadi, masyarakat pengemban profesi dianggap untuk mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan mereka tanpa suatu gejolak peraturan intern yang sudah di sepakati bersama, sehingga pengaturan hukum tidak di perlukan untuk mengatur apa yang mereka sepakati tersebut.
Hal-hal kecil yang di maksud oleh hukum di sini, termasuk bagian-bagian tertentu dan spesifik yang melingkupi ruang gerak anggota profesi kedokteran dalam melakukan pelaynan kesehatan. Oleh karena itu dalam perjanjian terapeutik, selain harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, juga harus mengindahkan kepatutan atau kebiasaan yang berlaku dalam bidang kesehatan. Jadi, apabila seorang dokter dianggap bertindak melakukan kesalahan atau kelalaian, penilaiannya tidak semata-mata didasarkan pada aspek hukum, tetapi juga harus di lihat dari aspek etika profesi.
Bagi kalangan pengemban profesi kedokteran, untuk melihat kemampuan dan atau keahlian profesionalnya, dapat di ukur daro segi keterampilan serta hak dan kewenangan mereka melakukan tugas profesi tersebut, sebab terjadinya suatu kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan atau menjalankan profesi, tidak jarang di sebabkan kurangnya pengetahuan, kurangnya pemahaman, dan pengalamannya. Sehubungan dengan itu untuk menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian dokter, digunakan standar yang berkaitan dengan aturan-aturan yang di temukan dalam profesi kedokteran dan yang berhubungan dengan fungsi sosial pelayanan kesehatan.
Pasal 53 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menentukan bahwa dalam melakukan tugasnya, tenaga kesehatan berkewajiban mematuhi estándar profesi dan menghormati hak pasien. Dokter termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan sebagaimana yang di tentukan dalam penjelasan ketentuan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan dokter dalam melaksanakan profesinya adalah melakukan tindakan medis. Dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perawatan atau tindakan medis harus mengikuti estándar profesi serta menghormati hak-hak pasien.
Standar profesi tersebut menurut penjelasan Pasal 53 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, berlaku sebagai pedoman yang harus di gunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik dan benar. Apabila dokter melakukan kelalaian dalam melaksanakan profesinya dan akibat dari kelalaian itu menimbulkan kerugian bagi pasien atau keluarganya, pasien berhak untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pekerjaan profesi kedokteran di landasi oleh dua prinsip perilaku pokok, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien. Sebagai bagian dari rasa tanggung jawabnya dan sebagai manifestasi dari dua prinsip perilaku pokok diatas, dokter wajib menghargai hak pasien. Hak tersebut terdiri dari hak untuk dirawat, diobati, ditangani oleh dokter yang dalam mengambil keputusan profesional secara klinik dan etis dilakukan secara bebas. Hak lain yang wajib dihargai dari pasien, adalah hak untuk dilindungi rahasia pribadinya yang telah dipercayakannya lepada dokter.
Seorang dokter yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan, sekalipun dia di satu pihak mempunyai otonomi profesi, Namur dilain pihak kemandirian dokter berdasarkan otonomi tersebut perlu dikendalikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah saty dari peraturan tersebut adalah standar pelayanan medis.
Masalahnya Semarang, di Indonesia belum ada standar pelayanan medis yang berlaku secara nasional. Jika di tinjau dari sudut hukum kesehatan, Belem adanya estándar pelayanan medis yang berlaku secara nasional ini, akan merugikan tidak hanya bagi kalangan profesi kedokteran, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa memang banyak terjadi perbedaan dalam penanganan penderita pada saat pemeriksaan, maupun perbedaan mengenai sarana atau peralatan yang digunakan, sehingga semua hal itu bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan yang merugikan masyarakat. Dalam praktik sehari-hari sering terjadi tindakan atau perbuatan yang kurang terpuji dalam pelayanan kesehatan. Tindakan atau perbuatan yang kurang terpuji tersebut antara lain bisa dilihat dari tindakan dokter yang mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan kemanusiaan, misalnya, demi untuk mencari keuntungan secara ekonomis dokter melakukan diagnosa terhadap pasien dengan menggunakan peralatan laboratorium atau radiologi, padahal sesuai dengan tingkat penyakit yang di derita oleh pasien hal tersebut sebenarnya tidak perlu di lakukan.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, di tegaskan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani, mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Jika ia tidak mampu melakukan statu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk penderita lepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam menangani penyakit tersebut. Seorang dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas statu kegagalan untuk menyembuhkan pasien, CACAT atau meninggal, bilamana dokter telah melakukan segala upaya sesuai dengan keahlian dan kemampuan profesionalnya.
Bertolak dari hal tersebut diatas, dapat dibedakan antara apa yang dimaksud sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab, lalai atau ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala upaya, kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau penderita, dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah melakukan tugasnya sesuai dengan etik kedokteran. Sebaliknya, jika seorang dokter tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di dalam situasi yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah melanggar standar profesi kedokteran.
Menurut Koeswadji (1992 : 104), standar profesi adalah nilai atau itikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dean yang tidak dapat dilakukan dalam statu kegiatan profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
Dalam rangka menunjang kemandirian dan pelaksanaan profesi kedokteran dalam pelayanan kesehatan, pemerintah menetapkan berlakunya estándar pelayanan medis di rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit. Estándar pelayanan medis tersebut merupakan tonggak utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia. Tujuan ditetapkannya estándar pelayanan medis ini adalah untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar profesi.
Di tinjau dari sudut hukum kesehatan, standar pelayanan medis ini mempunyai tujuan ganda. Di satu pihak bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik-prsktik yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran, sedang di lain pihak bertujuan melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar. Di samping itu juga berfungsi sebagai pedoman dalam pengawasan praktik dokter, pembinaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
Standar pelayanan medis ini merupakan hukm yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam kaitannya dengan profesi dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang mencakup: standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil yang di harapkan. Selain itu standar pelayanan medis ini tidak saja untuk mengukur mutu pelayanan, tetapi juga berfungsi untuk kepentingan pembuktian di pengadilan apabila timbul sengketa.
Standar pelayanan medis terdiri dari dua bagian. Pertama, memuat tentang standar penyakit dengan duabelas spesialisasi kasus-kasus penting. Kedua, memuat tentang standar pelayanan penunjang dengan tiga spesialisasi yang masing-masingnya di rinci berdasarkan prosedur tindakan yang harus di tangani oleh spesialisasi yang bersangkutan. Bagian standar pelayanan medis yang pertama meliputi:
1) Bagian bedah;
2) Bagian bedah ortopedi;
3) Bagian jiwa;
4) Bagian kardiologi;
5) Bagian kulit dan kelamin;
6) Bagian obstetri dan ginekologi;
7) Bagian paru;
8) Bagian penyakit dalam;
9) Bagian penyakit anak;
10) Bagian saraf;
11) Bagian mata;
12) Bagian telinga, hidung, dan tenggorokan.
Sedangkan bagian standar pelayanan medis yang kedua meliputi;
1) Bagian anestesi;
2) Bagian patologi, anatomi, forensik, klinik;
3) Bagian radiologi.

B. Audit Medis
Dewasa ini, komersialisasi pelayanan medis merupakan fenomena yang sudah umum di tengah masyarakat, jasa pelayanan medis sudah mulai merambah memasuki dunia bisnis. Jasa dan produk kesehatan sudah mulai di iklankan walaupun masih hati-hati dan dan tidak seagresif produk atau jasa lain. Saat ini sudah jelas tampak adanya gejala bahwa pelayanan kesehatan sudah mulai bergabung dengan kegiatan bisnis. Dalam kaitannya dengan penerapan audit medis dalam pelayanan kesehatan, wadah audit medis di bentuk untuk menghadapi masalah yang di timbulkan oleh ketentuan etik dan hukum yang cukup rumit dan pelik dengan permasalahan yang sangat komplek. Wadah ini di maksudkan untuk membantu para dokter dalam menghadapi dilema etik.
Dalam pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, sering timbul pelanggaran etik, penyebabnya tidak lain karena tidak jelasnya hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit. Tidak ada suatu kontrak atau perjanjian kerja yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sementara iu, perkembangan teknologi kesehatan juga mempengaruhi terjadinya pelanggaran etik, karena pemilihan teknologi kesehatan yang tidak di dahului dengan pengkajian teknologi dan pengkajian ekonomi, akan memunculkan tindakan yang tidak etis dengan membebankan biaya yang tidak wajar kepada pasien.
Tindakan penyalahgunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan, dilakukan oleh dokter baik pada saat berlangsungnya diagnosa maupun pada waktu berlangsungnya terapi dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Misalnya, pasien yang seharusnya tidak perlu diperiksa dengan alat atau teknologi kesehatan tertentu, namun karena alatnya tersedia, pasien dipaksa menggunakan alat tersebut dalam pemeriksaan atau pengobatan, sehingga pasien harus membayar lebih mahal.
Menyadari hal tersebut, pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran etik perlu ditingkatan. Oleh karena itu dalam memfungsikan mekanisme audit medik, diperlukan adanya suatu standar operasional sebagai tolok ukur untuk mengendalikan kualitas pelayanan medis. Standar operasional ini bertujuan untuk mengatur sampai sejauh mana batas-batas kewenangan dan tanggung jawab etik dan hukum dokter terhadap pasien, maupun tanggung jawab rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya. Standar operasional ini juga akan mengatur sehubungan antara tenaga medis dengan sesama teman sejawat dokter dalam satu tim, tenaga medis dengan para medis, serta merupakan tolok ukur bagi seorang dokter untuk menilai dapat tidaknya dimintakan pertanggung jawaban hukumnya jika terjadi kerugian bagi pasien.
Standar pelayanan kesehatan di rumah sakit, merupakan pengaturan teknis klinis yang sifatnya lebih detail dan berpedoman pada standar pelayanan medis, atandar praktik keperawatan dan sakit yang bersangkutan. Penamaan tentang standar pelayanan kesehatan untuk setiap rumah sakit berbeda-beda, ada yang menggunakan nama formularium diagnosis dan terapi, ada yang menamakannya dengan standar dan prosedur tetap konsultasi medis, dan ada juga yang menggunakan nama prosedur tetap rumah sakit.
Masing-masing rumah sakit mempunyai standar pelayanan yang berbeda-beda, perbedaan ini sangat tergantung pada kondisi rumah sakit dan latar belakang pendidikan para staff medisnya. Penerapan standar ini dimaksudkan agar tenaga medis seragam dalam memberikan diagnosa, dan setiap diagnosa harus memenuhi kriteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan rumah sakit tersebut.
Profesi dokter merupakan kelompok fungsional yang bekerja atas dasar profesionalisasinya, tetapi secara administratif mereka adalah pegawai rumah sakit. Mereka dalam melakukan tugasnya di gaji oleh pemerintah atau pemilik rumah sakit untuk keahlian profesionalnya. Atas dasar hubungan kerja yang demikian, secara hukum perbuatan staff medis adalah tanggung jawab rumah sakit. Sebagai bawahan rumah sakit, tenaga medis tetap mempunyai otonomi profesi. Pimpinan rumah sakit sebagai atasan tidak berhak untuk memerintah seorang dokter agar melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan profesinya atau yang dianggap bertentangan dengan profesinya, misalnya melakukan abortus atau mengabulkan permintaan seseorang untuk authenesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top